Abah Ahyat (62) sedang mencari botol plastik di antara tumpukan sampah, Kamis (31/8/2017).
Abah Ahyat sudah tinggal di pinggir Sungai Citarik sejak lama, sejak kecil menurut pengakuannya.
Sejak berpuluh-puluh tahun lalu pria 62 tahun itu mendirikan rumah sederhana di pinggir Sungai Citarik, tepatnya di kampung Sapan Kolanding, Desa Sukamanah, Kecamatan Rancaekek.
Ketika ditemui, Kamis (31/8/2017), Abah Ahyat sedang mengumpulkan botol-botol pastik yang terbawa arus di pintu air Adimaja Sungai Citarik.
"Sebelumnya saya bukan pengumpul rongsokan atau pemulung seperti sekarang," ujar Abah Ahyat.
Abah Ahyat baru menjadi pemulung rongsokan sejak tahun 2001-2002, tanggal pastinya sendiri pria sepuh ini sudah tidak ingat lagi.
Dulunya, menurut cerita Abah Ahyat, dirinya bekerja sebagai pencari udang di Sungai Citarik ini.
Dalam sehari dirinya sanggup membawa pulang Rp 50 ribu dari hasil menjual udang yang didapatnya dari Sungai Citarik.
Dari pekerjaannya mencari udang, Abah Ahyat mampu menyekolahkan tiga anaknya hingga tingkat SMA.
"Tapi sekarang tidak bisa lagi bekerja jadi pencari udang," ujar Abah Ahyat.
Sebabnya, Sungai Citarik tempatnya mencari nafkah sudah tercemar limbah industri pabrik yang berdiri di sekitar Rancaekek.
Udang dan berbagai jenis ikan pun kini menghilang dari Sungai Citarik. Kalaupun ada ikan, rasanya tidak seenak ketika sungai tersebut belum tercemar limbah.
Kini Abah Ahyat terpaksa bertahan hidup dari mengumpulkan sampah botol plastik yang terbawa hanyut sampai ke pintu air.
"Hasilnya sangat sedikit, paling kalau sedang mujur bisa dapat Rp 10 ribu sehari, jauh dari ketika mencari udang," ujarnya.
Menurutnya, banyak warga yang tinggal di pinggir Sungai Citarikmengalami nasib yang sama, mata pencahariannya ikut hilang bersama masuknya limbah ke sungai tersebut.
"Masuknya limbah ikut membuat saya miskin," ujarnya.
0 komentar:
Posting Komentar