Politik Islam Beda dengan Islam Politik (2-Habis)
SEBAGAI contoh pendekatan tekstual-historis ini adalah kajian pemikiran politik Ibn Taymiyyah oleh Henri Laoust, kajian sistem administrasi negara zaman Abbasiyah ole Ann Lambton, kajian naskah kitab Ibn Rusyd yang menguraikan Politeia (Respublica) Plato oleh Erwin Rosenthal, kajian naskah kitab Ārā’ Ahl alMadīnah al-Fāḍilah karya al-Fārābī oleh Richard Walzer, dan masih banyak lagi. Pendekatan ala orientalis sebenarnya bermanfaat sekali untuk mengenalkan kita pada khazanah pemikiran politik yang dimiliki Umat Islam. Akan tetapi di sisi lain ia seringkali juga membawa orang menerawang jauh di alam utopia. Akibatnya timbul perasaan miris ketika melihat kenyataan tidak seindah pengharapan.
Ketiga, kajian sekular-modernis yang mulai muncul sejak Dunia Islam dijajah dan dikuasai oleh bangsa-bangsa Eropa. Pendekatan ini bertolak dari anggapan atau bahkan keyakinan –yang sesungguhnya boleh jadi keliru- bahwa ketidakmampuan Umat Islam menghadapi kolonialisme Eropa disebabkan oleh sistem politiknya yang lemah, dan ini disebabkan oleh ajaran Islam yang tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Maka maraklah gagasan sekularisasi sebagaimana dipopulerkan oleh Kemal Ataturk. Tokoh-tokoh cendekiawan pun hanyut dalam arus ini.
Dapat kita sebut misalnya ‘Alī ‘Abd alRāziq yang menulis buku al-Islām wa Uṣūl al-Ḥukm (1967), Khālid Muḥammad Khālid, penulis Min Hunā Nabda’ dan ad-Dimuqrāṭiyyah Abadan (1953), Nāmik Kāmil dan ‘Abd al-Ghanī Sanī Bey yang menulis al-Khilāfah wa Sulṭat al-Ummah (1924). Mereka ini tanpa berpikir panjang menelan bulat-bulat aneka konsep dan sistem politik Barat modern seperti demokrasi dan sebagainya. Hanya dengan meniru sistem politik Barat, negara-negara Islam bisa maju dan kuat, begitulah bayangan mereka. Pendek kata, kelompok apologetik ini berupaya mencarikan pembenaran terhadap sistem demokrasi dan konsep negara sekuler agar dapat diterima dan diamalkan oleh Umat Islam.
Menurut Dr Syamsuddin, ada pula yang memaknai Islam politik adalah sikap dan perilaku politik Umat Islam yang didorong oleh keyakinan bahwa Islam perlu berperan di ruang publik dan perlu mempengaruhi kebijakan politik masa kini. Istilah kontroversial ini memang belum lama muncul, dan sengaja dibikin untuk membedakan antara sikap apatis atau pasif sebagian orang Islam dengan sikap sebagian lainnya yang sangat aktif berpolitik.
Menurutnya, dalam mengkaji Islam Politik ini pun kita dapat melihat adanya tiga paradigma berbeda, yaitu paradigma pesimis radikal, paradigma utopian radikal, dan paradigma optimis moderat.
Paradigma pesimis radikal diwakili oleh pengamat politik semacam Oliver Roy, penulis buku The Failure of Political Islam (Kegagalan Islam Politik). Menurutnya, aktivis Islam Politik sebenarnya tidak atau kurang memahami Islam, hanya mengikuti syahwat politik demi menggolkan agenda-agenda mereka sendiri. Artinya, mereka ini tanpa sadar mengkhianati umat Islam dan membelakangi para ulama (anti-clerical). Roy menjuluki mereka neo-fundamentalists yang tidak sama dengan kaum Islamists.
Aktivis Islam Politik kalau pun mereka menang pemilu dan berkuasa dapat dipastikan akan gagal menjalankan pemerintahan yang adil dan berwibawa, sebaliknya justru bakal membunuh demokrasi, menindas rakyat, menghancurkan ekonomi, dan merusak hubungan internasional. Demikian ramalan suram dari Roy, yang diamini oleh dan mempengaruhi banyak pengamat termasuk Graham E. Fuller, Greg Fealy, Kikue Hamayotsu, Robert W. Hefner, William Liddle dan Saiful Mujani.
Dalam diskusi mingguan di Insists itu juga ramai didiskusikan tentang istilah demokrasi dan politik Islam di Indonesia. Menurut Dr Syamsuddin, istilah demokrasi sebenarnya sudah selesai dengan adanya Partai Masyumi di Indonesia. Dan yang menarik tokoh politik Islam Mohammad Natsir mengajukan konsep teistik demokrasi yang merupakan lawan ateistik demokrasi.
0 komentar:
Posting Komentar