DEPUTI bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius K Ro mengatakan ada empat perusahaan BUMN infrastruktur yang memiliki potensi untuk menerbitkan Global IDR Bonds, atau obligasi global beredominasi rupiah. Potensi ini dilihat dari kriteria BUMN, seperti kelayakan rating pasar global, pendapatan yang didominasi rupiah, capex jangka panjang 5-10 tahun.
“Kurang lebih ada empat (BUMN) yang sudah bisa, dengan revenue rupiah dan capex jangka panjang.
Tol itu bisa 5-10 tahun. Perbankan tidak cocok untuk pembiayaan mereka karena butuh pendanaan jangka panjang,” ujarnya pada saat pengenalan alternatif pembiayaan dengan instrumen Global IDR Bonds di Jakarta, Rabu (27/9).
Namun Aloy masih enggan menyebutkan keempat perusahaan tersebut. Sebab menurutnya masih butuh proses waktu persiapan sebelum perusahaan BUMN bisa menerbitkan obligasi global. Mereka butuh mengurus rating yang memakan waktu 8 minggu, kemudian menyerahkan audit laporan keuangan.
“Kami maunya mereka bisa secepatnya tahun ini, Supaya marketnya tercipta. Jangan sampai hanya single issuance / penerbitan saja. Harus terus menerus BUMN didorong ikut menerbitkan IDR Global Bond. Kalau tidak bagaimana orang mau benchmark,”
Produk baru investasi ini menurutnya menarik bagi investor. Sebab viewer Indonesia sedang positif dengan memasuki investment grade. “Kalau dilihat, diindikasi rating bagus, ke depan mereka melihat investment ini memberikan return yang bagus,”
Adapun kebutuhan infrastruktur pertahun, kata Aloy, sekitar Rp 1.100 triliun sehingga perlu dicarikan alternatif pembiayaan.
“Ada tipe investor yang punya ketertarikan (appetite) soal Indonesia punya knowledge soal Indonesia. Yang punya SUN itu 40-50 persen itu investor asing. Kami coba ciptakan asset class yang similar di luar negeri supaya bisa jangka panjang. Presiden sudah setuju. Tadinya kita tiru nama nama Bond yang makanan Masala Bond di India kemudian di Tiongkok Dim Sum Bond. Kita nggak kalah Rendang Bond Nasi Goreng Bond. Tapi ternyata dari pemerintah arahannya mau Komodo Bond,”
Sebelumnya Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei dan Konsultasi Kementerian BUMN, Gatot Trihargo mengatakan Indonesia memerlukan pendanaan yang besar, sebab bujet negara (APBN) sebesar Rp 2.200 triliun, dimana 10-15% untuk belanja modal. Kemampuan BUMN , kata Gatot hanya Rp 450 triliun. Sehingga perlu alternatif pendanaan.
Kegiatan alternatif pendanaan memang sudah dimulai dengan melalui pasar modal, seperti KiK Eba Jasa marga dan Indonesia Power. Ini menunjukkan sinyal bagus di dalam negeri bagaimana ke depan pendanaan melalui obligasi dan sekuritisasi bisa dikembangkan.
Indonesia juga bisa mencari peluang ke depan bagaimana Global IDR Bonds bisa dipasarkan di luar negeri. Potensi ini melihat London Stock Exchange yang memasarkan global bonds dengan 38 mata uang. Artinya potensi rupiah untuk ikut serta juga besar.
“Saya yakin market Indonesia bagus, dan invesment grade juga telah memberikan insentif dan mohon dikapitalisasi semua variable risk di Indonesia untuk dimanfaatkan sebagai peluang mencari dana murah jangka panjang,” tukas Gatot.
Direktur Utama Mandiri Sekuritas Silvano Rumantir menjelaskan secara garis besar Global IDR Bonds merupakan penerbitan obligasi yang kewajibannya dalam uang rupiah. Dari sisi emiten pencatatannya dilakukan dalam rupiah. Sehingga terhindar dari volatilitas mata uang asing.
“Tapi basis investornya bisa global dan domestik. Dari sisi foreign exchange ini sangat termitigasi. Benefit untuk emiten bisa akses ke pembiayaan baru dengan tenor yang lebih dalam. Ini butuh untuk pendanaan infrastruktur,”
Format dokumentasi Global IDR Bonds penawarannya bisa ditawarkan ke investor dari amerika dan luar amerika. Yang menarik , penyelesaian settlement tetap menggunakan USD.
“Sebab investor asing umumnya menggunakan underlying funding mata uang asing yaitu USD. Tapi pada saat penerbitan obligasi jumlah dolar tersebut diindekskan ke rupiah rate memakai reference rate dailynya Bank Indonesia. Jumlah dollar yang akan dibayarkan pada saat issuance dari sisi rupiah akan konstan. Yang akan berubah jumlah USDnya. Sehingga yang mengambil risiko foreign exchange itu investor,” tukas Silvano.
0 komentar:
Posting Komentar